Hidup ini seperti secangkir kopi.
Hidup ini kadang mirip banget sama secangkir kopi: bisa pahit, bisa manis—tergantung siapa yang nyeduh, gimana cara nyeduhnya, dan tentu saja, dengan siapa kita menikmatinya.
Coba kita ingat-ingat... Pernah nggak kita duduk sendiri di pagi hari, masih pakai baju tidur yang udah agak lecek, sambil megang cangkir kopi yang masih ngebul? Aroma kopinya pelan-pelan nyusup ke hidung, lalu ke hati, terus tiba-tiba muncul perasaan: “Ah, hidup nggak buruk-buruk amat ya... asal ada kopi.”
Nah, begitulah kehidupan. Nggak selalu sempurna, kadang malah berantakan kayak rambut bangun tidur. Tapi kalau kita mau sedikit melambat, berhenti sebentar, dan menikmati, ada banyak hal kecil yang ternyata bisa bikin kita bersyukur.
Hidup itu singkat, kayak uap kopi yang keluar waktu pertama diseduh—panas, wangi, lalu... hilang. Tapi justru di momen sekejap itulah kita bisa nemu makna, kehangatan, dan—kalau lagi hoki—kebahagiaan. Kita nggak perlu nunggu jadi orang sukses dulu buat bahagia. Kadang, duduk di teras rumah, kopi di tangan, dan Wi-Fi yang lancar udah cukup bikin hidup terasa sempurna.
Dan ya, kopi nggak selalu butuh gula buat enak. Kadang, justru pahitnya itu yang ngasih karakter. Sama kayak hidup. Kalau semuanya manis, nanti kita nggak belajar apa-apa. Dari rasa pahitlah kita ngerti sabar, belajar nerima, dan mengasah skill bersyukur—meskipun dompet lagi tipis.
Tapi hati-hati, kopi yang didiemin terlalu lama bisa dingin dan hambar. Sama juga kayak hidup yang terlalu sering ditunda. Terlalu sibuk mikirin masa lalu yang belum move on, atau iri liat orang lain jalan-jalan ke luar negeri, bisa bikin kita lupa nikmatin detik yang sekarang. Kita lupa bahwa "bahagia" itu bukan soal punya segalanya, tapi soal menikmati apa yang kita punya... meskipun cuma kopi sachet.
Jangan tunggu semuanya sempurna dulu buat senyum. Jangan nunggu pensiun dulu buat bilang “Kita bahagia.” Karena siapa tahu, esok kita malah disuruh balik ke Sang Pemilik Hidup—tanpa sempat nambah gula.
Selama kopi masih hangat dan kita masih bisa nyeduh sendiri, nikmatilah. Hirup aromanya. Seruput pelan-pelan. Dan jangan lupa tersenyum, meskipun giginya tinggal separuh. Maafkan lebih cepat, peluk lebih erat, dan kalau bisa... bagi kopinya juga, jangan diseruput sendiri terus.
Kalau suatu saat hidup mulai terasa pahit (dan itu pasti datang, percaya deh), jangan langsung manyun. Mungkin itu waktunya kita belajar meracik ulang. Tambahkan gula syukur, tuangkan krim kasih sayang, atau kalau lagi nggak punya apa-apa, cukup duduk diam dan bilang, “Ya udah lah ya…”
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna bukan tentang berapa banyak kopi yang kita minum, tapi seberapa banyak momen yang kita nikmati dengan hati yang hangat, bersama orang-orang yang membuat hidup kita terasa... hidup.
Jadi, jangan terlalu serius. Hidup ini memang kadang pahit. Tapi siapa tahu, itu kopi yang lupa kita aduk.
Salam kopi pait !
SPESIFIKASI BUKU:
Kode Buku : 1163
Penulis: Kak Is
Ukuran : A5
Isi : Hitam putih / HVS Putih 70 gsm
Cover : Full color / AP 260 gsm
Jumlah Halaman : 255 Halaman
Finishing : Laminasi, binding lem panas
Berat : -
Harga : 200.000